DENPASAR, DISWAYBALI.ID - Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang sudah disahkan oleh DPR, tetapi memunculkan banyak kontroversi besar.
Hal ini membuat sejumlah organisasi masyarakat sipil, akademisi, pakar hukum mengingatkan bahwa RUU KUHAP yang dibuat bisa melemahkan hak asasi warga negara dan bisa memberi ruang lebih luas bagi aparat-aparat penegak hukum untuk melakukan praktik represif.
Sebelumnya, saat RUU KUHAP ini belum disahkan banyak pihak yang mengkritik proses penyusunan RUU tersebut dirasa tergesa-gesa dan minim partisipasi publik yang bermakna. Memuat banyaknya pertanyaan muncul, apa dengan pengesahan RUU KUHAP benar-benar bisa membawa keadilan dan perlindungan atau justru membuka pintu yang lebih besar bagi kesewenang-wenangan?
BACA JUGA:Pria di Bali Menjambret Demi Biaya Pulang Menengok Anak Sakit
Berikut beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat tidak setuju dengan disahkannya RUU KUHAP:
Proses legislasi dinilai terburu-buru
Banyak masyarakat sipil yang menganggap bahwa pembaruan KUHAP ini dilakukan dalam waktu yang sangat sempit dan pasrtipasi publik yang sangat minim. Ditambah banyak yang mengkritik jika seharusnya revisi dari RUU KUHAP tidak bisa dibahas dengan tergesa-gesa karena akan berdampak besar terhadap sistem peradilan pidana.
Kekuatan kewenangan aparat yang dikhawatirkan
Salah satu poin yang paling diperdebatkan adalah perluasan wewenang penyidik dan penegak hukum. Masyarakat sipil menyebutkan bahwa dalam RUU KUHAP terdapat celah "kondisi mendesak" yang memungkinkan polisi untuk melakukan penangkapan, penggeledahan, dan penahanan tanpa dilakukannya pengawasan pengadilan.
Hal ini pun juga disorot oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti bahwa pasal yang ada di RUU KUHAP bisa menjadi penyalahgunaan kekuasaan.
BACA JUGA:Kemenag Bangli Turut Sukseskan Upacara Muspayang Bhakti Nedunang di Pura Batumadeg
Potensi pelanggaran HAM dan tekanan terhadap kebebasan sipil
Sejumlah kelompok HAM melihat RUU ini bisa menjadi potensi pelanggaran HAM yang serius, selain itu beberapa pihak juga mencerminkan dengan disahkan RUU KUHAP sebagai adanya tendensi otoriter karena dipergunakan untuk memperkuat otoritas negara di ranah pidana dan bisa melemahkan jaminan hak terhadap tersangka.
Peran korban dan pengacara dinilai lemah
Lalu RUU KUHAP dianggap kurang memberi ruang yang kuat untuk perlindungan korban dan akses bantuan hukum (advokat). Awalnya banyak pihak yang beranggapan dilakukannya revisi pada undang-undang tersebut bisa memperkuat hak warga, tetapi saat RUU KUHAP tersebar di publik, beberapa pasal justru lebih berpotensi untuk aparat melakukan penyalahgunaan wewenang.
BACA JUGA:Cloudflare Error Massal, X hingga ChatGPT Tak Bisa Diakses Selama Beberapa Jam
Banyak kalangan yang beranggapan bahwa kritik terhadap RUU KUHAP yang diberikan bukan hanya sekedar teknis hukum, tetapi sudah menyentuh ranah kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Masyarakat menilai seharusnya revisi yang dilakukan bisa memperkuat hak asasi warga dan memperkuat kontrol terhadap aparat, bukan memberikan celah baru untuk bisa melakukan penyelahgunaan kekuasaan.