DENPASAR, DISWAYBALI.ID - Sebuah taman nasional, Tesso Nilo National Park yang dulunya identik dengan hijaunya hutan alam tropis yang juga menjadi rumah untuk hewan-hewan dilindungi, seperti gajah dan juga harimau, kini tengah mengalami krisis yang serius.
Kawasan Tesso Nilo yang memiliki luas mencapai 81.739 hektare kini sebagian besar telah berubah fungsi menjadi kebun sawit, lahan terbuka, dan pemukiman masyarakat. Hingga saat ini, tercatat hanya sekitar 24% lahan yang tersisa dan masih berupa hutan alami.
Dalam beberapa tahun terakhir, tekanan terhadap Tesso Nilo terus meningkat. Menurut data di tahun 2025 sudsh mencapai 40.000 hektare lahan yang telah dibuka dan ditanami kelapa sawit secara ilegal.
BACA JUGA:DPR Dorong Transparansi Catatan Bullying Saat Masuk Kuliah
Berbagai sertifikat perkebunan diterbitkan secara ilegal dalam kawasan konservasi, sehingga status lahan yang seharusnya masuk kategori dilindungi menjadi rusak dan hal itu seharusnya dianggap sebagai pelanggaran terhadap Undang-undang tentang konservasi kawasan hutan.
Menyadari kondisi kritis ini, sejak pertengahan tahun 2025 pemerintah melalui Satgas PKH (Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan) bersama dengan Kementerian Kehutanan telah melakukan operasi pemulihan besar-besaran.
Menurut yang dilansir dari Antara, Kemenhut telah memusnahkan setidaknya 775 hektare kebun sawit ilegal di dalam TNTN selama periode Mei-Juli 2025.
Operasi yang dilakukan meliputi pembongkaran perkebunan, penertiban lahan, penegakan hukum terhadap pelaku perambahan, dan penataan kawasan untuk kembalinya fungsi dari konservasi.
Menurut pemerintah, upaya ini merupakan bagian dari program nasional untuk merehabilitasi yang dikelola tidak sesuai dengan fungsinya dan kawasan Tesso Nilo menjadi prioritas utama.
BACA JUGA:Dukung Kreativitas Pemuda, BTID Jadi Sorotan di Festival Penjor Serangan 2025
Namun tantangan yang dihadapi tidak mudah, banyak lahan yang telah bersertifikat dan dikuasai oleh pihak swasta atau individu, termasuk adanya dugaan sertifikat palsu, SKT/KTP palsu, dan penerbitan hak milik (SHM) ilegal di kawasan hutan lindung.
Kasus ini bahkan telah ditindak secara hukum, aparat mengusut para oknum yang terlibat dan menyeret para pelaku dengan tuduhan perusakan kawasan konservasi.
Aktivitas pemulihan juga disertai dengan pemasangan portal, dilakukannya segel kawasan, patroli di ratusan titik, dan adanya upaya relokasi atau pengosongan lahan untuk mereka yang membuka lahan secara ilegal.
Saat ini krisis di Tesso Nilo adalah gambaran betapa rapuhnya kawasan konservasi jika tidak dibarengi dengan pengelolaan, pengawasan, dan penegakan hukum yang konsisten.
Jika tidak diperbaiki secara menyeluruh, maka bukan hanya sekedar habitat hewan yang akan terancam, tetapi juga fungsi lingkungan, seperti karbon hutan, suplai air, dan keanekaragaman hayati di masa depan juga akan terancam.