Strategi Memulihkan Lahan Kritis, Tanaman yang Tepat untuk Mengembalikan Fungsi Ekologi

Minggu 07-12-2025,23:23 WIB
Reporter : Nindya Previaputri
Editor : Nindya Previaputri

DENPASAR, DISWAYBALI.ID - Lahan kritis yang terbesar di berbagai wilayah Indonesia belakangan ini menjadi persoalan yang serius karena hilangnya vegetasi membuat tanah kehilangan kemampuan menyimpan air.

Lahan kritis yang umumnya merupakan bekas pembalakan, kebakaran, hingga pembukaan lahan tidak terkendali menjadi salah satu faktor meningkatnya risiko banjir, erosi, hingga berkurangnya ketersediaan air bersih. Maka dari itu upaya pemulihan sangat penting bukan hanya untuk mengembalikan tutupan lahan, melainkan juga memperbaiki struktur tanah dan sistem penyangga air yang hilang.

Biar bagaimana pun secara ekologis, tidak semua tanaman mampu mengembalikan fungsi hidrologis dan struktur tanah dari lahan kritis karena ada tahapan dan jenis vegetasi tertentu yang terbukti dapat lebih efektif, mulai dari cover crops hingga pohon hutan asli.

BACA JUGA:Perkebunan Sawit Dinilai Tidak Mampu Menahan Banjir, Ini Penjelasannya!

Lahan kritis telah menjadi persoalan jangka panjang di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendefinisikannya sebagai lahan yang tidak mampu berfungsi secara optimal sebagai media tata air, perlindungan tanah, maupun produksi hasil hutan.

Kondisi ini mucul akibat dari berbagai faktor, mulai dari pembalakan liar, kebakaran hutan, bekas tambang, hingga erosi yang berlangsung hingga bertahun-tahun. Ketika tutupan vegetasi hilang, tanah menjadi keras, mudah tergerus, dan kehilangan kemampuan untuk menyerap air sehingga memberi dampak langsung terhadap banjir dan sedimentasi sungai.

Restorasi menjadi langkah penting untuk bisa memperbaiki kondisi tersebut. Namun metode pemulihan tidak bisa dilakukan secara sembarangan, pada tahap awal kawasan yang benar-benar rusak biasanya direvegetasi menggunakan tanaman penutup tanah atau cover crops.

Jenis seperti Mucuna bracteata, Centrosema pubescenes, Calopogonium mucunoides lazim dipakai karena mampu menahan eros, memperkaya unsur nitrogen, dan memperbaiki struktur tanah yang sudah kritis.

Setelah kondisi tanah yang membaik, bagian beriktnya adalah penanaman poon cepat tumbuh yang mampu beradaptasi di lahan miskin hara. Beberapa jenis yang umum digunakan antara lain sengon, jabon, akasia, dan gamal.

BACA JUGA:Memahami Penyebab Kanker yang Harus Diwaspadai di Umur Produktif

Keempat jenis tanaman tersebut dapat tumbuh pada tanah yang terdegradasi dan membantu untuk menciptakan peneduhan, memperbaiki kelembapan tanah, serta menjadi tahap transisi menuju pemulihan ekosistem jangka panjang.

Untuk bisa mengembalikan fungsi hidrologis secara penuh, pohon-pohon hutan asli lalu ditanam secara betahap. Jenis seperti meranti, damar, beringin dan beberapa spesies Ficus dikenal memiliki kedalaman akar yang dalam dan memiliki kanopi yang luas sehingga mampu meningkatkan penyerapan air serta menahan limpasan hujan.

Pemulihan dengan pohon-pohon ini biasanya akan memerlukan waktu yang lebih panjang, tetapi hasilnya lebih stabil dan mendukung keanekaragaman hayati. Namun belakangan ini terjadi perbincangan perihal penanaman kelapa sawit di lahan kritis.

Secara ekonomi, sawit memang bernilai tinggi dan bisa tumbuh di beberapa jenis lahan yang sudah menurun kualitasnya. Namun secara ekologis, sawit bukan tanaman restorasi. Akarnya yang cenderung dangkal, kanopinya tidak seefektif pohon hutan, dan kemampuannya dalam memulihkan tanah jauh di bawah jenis vegetasi restoratif, seperti pohon lokal atau tanaman konservasi tanah seperti vetiver.

Maka dari itu tanaman sawit lebih tepat jika dikategorikan sebagai tanaman perkebunan, bukan sebagai solusi untuk pemulihan ekosistem.

Kategori :