Ketika Luka Lama Menjadi Pola: Bagaimana CAT Membantu Penyintas KDRT Bangkit

Ketika Luka Lama Menjadi Pola: Bagaimana CAT Membantu Penyintas KDRT Bangkit

Dhea Benazir Moza Kurniawan, mahasiswa Magister Psikologi Universitas Surabaya, saat memaparkan hasil penelitiannya dalam kegiatan The Inaugural Meeting of The BRICS+ Psy Union, Kamis (21/8/2025)-Rivansky Pangau/Disway.id-

"Kekerasan mungkin tidak akan pernah putus, tapi saya hopeful masyarakat makin sadar tentang kebutuhannya, dan makin tahu caranya membangun relasi yang baik. Kalau kita tidak belajar menghadapi masalah dalam diri, yang kena bukan hanya kita, tapi juga orang sekitar," terang Alumni Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana ini.

Dari sisi psikologi forensik, Moza melihat penelitiannya berhubungan dengan fenomena trauma lintas generasi atau generational trauma. 

"Bukan hanya orang tua ke anak, tapi anak pun bisa bereaksi kepada orang tua dengan cara yang keras, karena itu yang mereka tahu. Dari atas dapatnya begitu, akhirnya turun ke bawah begitu. Lewat riset ini saya ingin masyarakat paham, bahwa tidak ada kata terlambat untuk belajar jadi manusia yang lebih baik," jelasnya.

Menanggapi penelitian tersebut, Ketua II Pengurus Pusat HIMPSI, Henndy Ginting menilai, Cognitive Analytic Therapy berpotensi menjadi modul baru dalam menangani kasus kecemasan.

BACA JUGA:Bali Pusat Crypto Dunia, 10.000 Peserta Coinfest Asia 2025 Bakal Padati Nuanu Creative City

"CAT berbeda dengan Cognitive Behavior Therapy (CBT, red) yang biasa kita lakukan. Di sini ada formula 3R yang menarik. Pasien dipandu mereformulasi kembali apa yang dia cemaskan. Kecemasan itu biasanya muncul karena mengantisipasi sesuatu yang belum tentu terjadi. Dengan CAT, pikiran itu dianalisis sejauh mana memang ancaman nyata atau hanya persepsi,” kata Henndy.

Menurutnya, hasil terapi diharapkan memberi insight bagi pasien.

"Pasien bisa menyadari, ternyata ancaman itu tidak sebesar yang dia pikirkan, sehingga kecemasan bisa berkurang,” tutup Henndy.

Sumber: