Ketika Semangat untuk Tetap Bahagia Jadi Beban Emosional, Bahaya Toxic Positivity

Bahaya dari Toxic positivity--
DENPASAR, DISWAYBALI.ID - Fenomena Toxic Positivity kini banyak dibahas karena dampaknya terhadap kesehatan mental mulai disadari oleh masyarakat. Toxic Positivity muncul ketika seseorang dipaksa untuk selalu berpikir positif meski sedang mengalami tekanan emosional.
Maka dari itu, banyak di dalam kasus toxic positivity justru membuat orang merasa bersalah karena sebenarnya tidak selalu orang akan merasa bahagia atau kuat di setiap waktu. Itu sebabnya kita harus paham dengan toxic postivity dan apa bahayanya.
Sekaligus agar kita mengetahui bagaimana cara menyeimbangkan antara berpikir positif dan tetap jujur dengan diri sendiri.
BACA JUGA:Warga Bali Tak Perlu Cemas, Prosedur LASIK Paling Cepat di Dunia Kini Hadir di Sanur
Toxic positivity adalah dorongan kuat untuk selalu menjaga sikap positif bahkan di situasi yang menyakitkan untuk kita. Intinya bukan soal optimisme, tapi tentang bagaimana emosi yang dianggap negatif seperti sakit hati, sedih, kecewa dianggap sebuah emosi yang tidak seharusnya dirasakan.
Ciri-ciri toxic positivity
- Tidak diberikan ruang untuk berkeluhkesah.
- Meremehkan atau membandingkan ketika seseorang tengah mengeluh
- Merasa bersalah pada diri sendiri jika tidak kuat dan tidak bisa tetap positif.
Dampak negatif pada kesehatan mental
- Menyebabkan emosi yang tertahan, lama-kelamaan bisa menyebabkan stres, kecemasan, atau bahkan depresi
- Mengisolasi diri sendiri, hal ini sering dilakukan oleh orang-orang yang sedang berduka. Banyak dari mereka memilih untuk tidak bercerita karena tahu pada akhirnya banyak respons seperti, "Ambil positifnya" atau hal-hal yang seharusnya belum bisa mereka dengar saat masih merasakan duka.
- Merasa perasan yang dialami bukan sesuatu yang penting
BACA JUGA:Simak Jadwal Sholat Hari Ini 11 Oktober 2025 di Bali dan Sekitarnya, Jangan Sampai Terlewatkan!
Cara menghadapi
- Validasi emosi sendiri, izinkan diri untuk merasakan apa yang memang sedang dirasakan.
- Cari pendengar yang baik dan memiliki empati, seorangteman atau tenaga profesional yang bisa mendengarkan tanpa harus terburu-buru memberikan solusi dan tidak membuat amu merasa bahwa semua harus dibawa positif
- Pahami bahwa semua emosi memiliki nilai, emosi yang dianggap negatif juga akan menyampaikan sinyal kepada kamu yang nantinya bisa membuat kamu sadar ada yang harus diubah atau kebutuhan yang belum terpenuhi.
- Praktik sukarela dalam realistisitas, positif memang diperlukan tetapi bukan berarti bisa mengabaikan perasaan kamu saat ini. Belajar seimbang untuk melihat sesuatu
- Gunakan bahasa yang mendukung bukan memaksa, misalnya orang biasa menggunakan, "Kamu harus kuat!" bisa kamu ganti dengan, "Aku tahu ini berat, aku di sini kalau kamu butuh teman untuk cerita."
Sumber: