DENPASAR, DISWAYBALI.ID - Pulau Bali yang selama ini dikenal dengan panaroma hijau persawahan yang selalu menjadi ikon pariwisata dunia, tengah menghadapi tantangan serius.
Dalam kurun lima waktu terakhir, luasan sawah di Pulau Dewata terus menyusut akibat derasnya alih fungsi lahan yang menjadi kawasan perumahan, akomodasi wisata, hingga infrastruktur.
Data terbaru mencatat penurunan signifikan sejak 2019 hingga 2024 yang bukan hanya akan mengancam ketahanan pangan tetapi juga akan mengikis identitas budaya dan lanskap khas Bali.
Lahan sawah di Bali terus menyusut secara signifikan dalam kurun waktu 2019 hingga 2024. Berdasarkan data dari Badan Pertanahan Negara (BPN) Provinsi Bali, total penuyusutan sudah mencapai 6.521,81 hektare atau terjadi penurunan sekitar 9,19% dari luas sawah pada tahun 2019.
Jadi secara rata-rata penyusutan lahan sawah sudah terjadi sebesar 1,53% di setiap tahunnya.
Wilayah yang terdampak adalah Kota Denpasar yang kehilangan lahan sawah paling banyak dalam persentasenya. Diketahui dari 2.164 hektare sawah pada tahun 2019 tersisa sekitar 1.341 hektare di tahun 2024. Itu berarti penyusutan telah terjadi sebesar 38,03% dengan rata-rata 6,34% di setiap tahunnya.
Kabupaten Gianyar berada sebagai wilayah kedua paling terdampak setelah Denpasar dengan kehilangan sekitar 14,82% dari luas sawahnya dalam periode yang sama atau sekitar 1.745,80 hektare.
Kabupaten lainnya, seperti Badung, Buleleng, Jembrana, Karangasem, Banli, Klungkung juga mencatat penurunan meskipun dengan persentase yang lebih rendah, dan Tabanan adalah wilayah yang penyusutannya paling kecil karena wilayah untuk LSD-nya (Lahan Sawah Dilindungi) yang memang cukup besar dibanding yang lain.
BACA JUGA:Koster Pastikan Bali Belum Terima Donasi dari Timor Leste
Persentase untuk penyusutan di Tabanan itu sendiri berada di angka 3,64% dalam enam tahun atau kurang dari 1% di setiap tahunnya.
Penurunan ini tidak hanya akibat dari alih fungsi lahan yang menjadi hotel, vila, restoran tetapi juga disebabkan oleh perubahan tata ruang, pembangunan perumahan, infrastruktur, dan pembangunan kawasan wisatawan.
Selain itu juga diketahui dari Kepala Bidang Penataan dan Pemberdayaan di Kantor Wilayah BPN Provinsi Bali, I Made Herman Susanto menyebut bahwa dalam beberapa kasus, status lahan yang awalnya masuk ke dalam "Sawah dilindungi" berubah karena revisi tata ruang.
Penyusutan yang terjadi akan berdampak ke berbagai lini, dari sisi produksi pangan lokal karena berkurangnya area sawah yang mengganggu swasembada pangan. Lalu dari sisi ekologi dan lingkungan, sawah berfungsi sebagai penyerap air yang dapat membantu menjaga sistem irigasi tradisional dan mengatur aliran air di musim hujan.
Para aktivis lingkungan juga mengatakan hal ini sebagai salah satu faktor yang memperparah risiko bencana banjir, terutama di daerah perkotaan yang secara fungsi sudah berubah.