Makna Hari Raya Kuningan, Simbol Perpisahan dan Penyempurnaan Rangkaian Galungan

Makna Hari Raya Kuningan, Simbol Perpisahan dan Penyempurnaan Rangkaian Galungan

Perayaan Hari Raya Kuningan menjadi momen penting dalam tradisi Hindu Bali karena menandai berakhirnya rangkaian suci Hari Raya Galungan--freepik

DENPASAR, DISWAYBALI.ID - Perayaan Hari Raya Kuningan menjadi momen penting dalam tradisi Hindu Bali karena menandai berakhirnya rangkaian suci Hari Raya Galungan yang dipenuhi makna spiritual.

Dalam pelaksanaannya, Hari Raya Kuningan menghadirkan berbagai simbol sakral, seperti tamiang, endongan, dan kolem yang menjadi bagian penting dari ritual umat Hindu. Melalui tradisi Hari Raya Kuningan ini, masyarakat Bali menyampaikan rasa syukur dan penghormatan terakhir sebelum para leluhur kembali ke alam suci mereka.

Selain itu Hari Raya Kuningan bertujuan untuk menyampaikan pesan perlindungan, bekal, serta keteguhan dalam menjalani dharma. Maka dari itu melalui Hari Raya Kuningan, masyarakat Bali juga kembali diingatkan pada nilai-nilai kesucian dan keseimbangan hidup.

BACA JUGA:Mengulik Penjor Galungan, Makna Setiap Unsur dan Filosofi Kehidupan Umat Hindu Bali

Hari Raya Kuningan merupakan salah satu rangkaian upacara penting dalam tradisi Hindu Bali yang dirayakan tepat pada 10 hari setelah dilaksanakannya Hari Raya Galungan. Jika Galungan melambangkan kemenangan dharma melawan adharma dan kehadiran para leluhur.

Maka Kuningan menjadi momen perpisahan ketika para leluhur kembali menuju alam suci. Dalam kepercayaan umat Hindu Bali, sepuluh hari ini menjadi simbol kesempurnaan, pembersihan, dan penyelesaian siklus spiritual.

Salah satu ciri khas Hari Raya Kuningan adalah banyaknya simbol yang digunakan, seperti tamiang, endongan, dan kolem. Ketiga unsur tersebut tidak hanya menjadi dekorasi upacara semata, tetapi penuh dengan filosofi yang mendalam dan melambangkan akan perjalanan leluhur, perlindungan, dan prinsip kehidupan yang harus dijaga oleh manusia.

Tamiang, misalnya ornamen yang berbentuk lingkaran yang dibuat dari janur kuning. Bentuknya menyerupai tameng atau perisai, sehingga melambangkan perlindungan dan kekuatan. Penggunaan tamiang pada Hari Raya Kuningan menegaskan bahwa manusia harus selalu menjaga diri dari pengaruh negatif dan tetap berada di jalan dharma.

Selain itu bentuk lingkaran pada ornamen tamiang juga melambangkan sebagai siklus kehidupan yang tidak pernah terputus dan mengingatkan manusia bahwa setiap tindakan akan kembali kepada dirinya sendiri.

BACA JUGA:Hal-hal yang Perlu Diketahui Sebelum Masuk Kawasan Pura di Bali

Berbeda dengan tamiang, endongan merupakan hiasan yang berbentuk tas yang juga terbuat dari janur. Endongan ini sendiri memiliki makna sebagai bekal perjalanan para leluhur yang kembali ke alam rohnya setelah mengunjungi alam manusia selama rangkaian Galungan.

Bekal tersebut bukan berupa benda fisik, melainkan simbol berupa harapan dan doa, seperti kecukupan, kemakmuran, dan keselamatan. Melalui endongan, masyarakat Bali menunjukkan rasa cinta dan penghormatan terakhir pada para leluhur yang telah menjaga dan memberikan restu selama mereka berada di dunia.

Sementara itu, kolem adalah anyaman janur yang berbentuk segitiga atau bundar yang melambangkan kesimbangan dan keteguhan hati. Dalam ajaran Hindu Bali, manusia diingatkan untuk selalu menjaga keseimbangan antara hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan juga alam yang dikenal dengan Tri Hita Karana. Kolem menjadi simbol pengikat prinsip tersebut, sekaligus pengingat agar manusia menjalankan kehidupan dengan keteguhan dan kejujuran.

Pada Hari Raya Kuningan, berbagai persembahan juga dibuat lebih awal karena dipercaya bahwa para leluhur hanya hadir hingga tengah hari. Oleh karena itu, umat Hindu biasanya melaksanakan persembahan sejak pagi, menghaturkan sesaji, dan berdoa sebagai bentuk penghormatan terakhir.

Sumber: