DENPASAR, DISWAYBALI.ID - Tingginya tekanan kerja membuat generasi muda semakin rentan terhadap stres dan burnout. Karena itu menjaga work life balance menjadi kunci penting.
Hal itu juga bukan hanya untuk penunjang performa di kantor, tetapi juga untuk memastikan kesehatan mental dan kualitas hidup bisa terjaga.
Di era serba cepat ini banyak anak muda yang merasa waktu seolah tidak pernah cukup. Tuntutan pekerjaan semakin tinggi, komunikasi yang tidak pernah berhenti melalui WhatsApp atau melalui email, dan juga budaya lembur masih cukup kental membuat work life balance menjadi tantangan besar untuk para anak muda, terutama Gen Z.
BACA JUGA:5 Stages of Grief versi Putus Cinta, Kamu Lagi di Tahap Mana?
Fenomena ini bukan hanya terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, tetapi juga di kota-kota lain pun juga sudah mengikuti ritme kerja urban.
Menurut data dari LinkedIn Global Talent Trends Report 2024, lebih dari 60% karyawan di Asia Pasifik menempatkan work life balance sebagai prioritas utama dalam memilih pekerjaan bahkan melebihi faktor gaji.
Hal ini juga seakan menjadi pengingat bahwa generasi muda saat ini sudah semakin sadar dengan pentingnya menjaga kesehatan mental dan fisik. Banyak di antara mereka tidak lagi mengejar jam kerja panjang, melainkan pekerjaan yang bisa memberi ruang untuk kehidupan.
Tren ini terjadi sejak Pandemi COVID-19 yang memulai konsep bekerja dari rumah, meski saat ini sebagian perusahaan sudah kembali ke sistem awal, yaitu bekerja yag mengharuskan di kantor, tetapi membuat beberapa pekerja yang kini enggan untuk meninggalkan fleksibiltas yang pernah mereka rasakan sebelumnya.
Namun di Indonesia yang di mana budaya lembur masih dianggap wajar, bahkan dianggap sebagai bentuk loyalitas membuat para anak muda susah untuk menjaga work life balance.
BACA JUGA:Kumis Kucing, Tanaman Hias yang Punya Segudang Khasiat Herbal, Ini Dia 10 Manfaatnya!
Padahal sudah ada penilitian dari WHO dan ILO menyebutkan bahwa jika kita bekerja lebih dari 55 jam dalam seminggu akan meningkatkan risiko stroke dan penyakit jantung hingga 35%, kondisi tersebut juga memperkuat urgensi untuk mulai mengatur ritme kerja secara sehat.
Beberapa cara sederhana untuk menjaga work life balance:
- Membatasi jam kerja dengan teknik manajemen waktu seperti Podomoro atau Time Blocking. Podomoro itu berarti melakukan fokus dengan intensitas yang tinggi tapi dalam waktu singkat dan istirahatnya pun juga terjadwal. Sedangkan kalau Time Blocking, yaitu perencanaan di satu hari menjadi blok-blok waktu untuk mengerjakan tugasnya.
- Menetapkan batasan digital, misalnya tidak membuka email atau pesan dari kantor setelah jam kerja berakhir.
- Meluangkan waktu rutin untuk aktivitas personal, bisa gunakan dengan olahraga, membaca, atau sekedar berkumpul dengan keluarga atau teman.
- Menggunakan hari libur sepenuhnya untuk istirahat, bukan untuk menyelesaikan pekerjaan kantor.
Selain itu, perusahaan juga mulai didorong untuk membuat kebijakan yang lebih manusiawi, beberapa kantor pun juga sudah menerapkan four day work week.
Ke depannya bisa saja isu mengenai work life balance ini menjadi hal yang semakin penting, mengingat para Gen Z yang nantinya akan mendominasi dunia kerja dan biasanya lebih vokal soal kebutuhan mereka sebagai pekerja.
Jika perusahaan tidak bisa menyesuaikan dengan perubahan zaman yang seperti sekarang, maka besar kemungkinan mereka akan kehilangan pekerja yang andal di bidangnya.