Peran IASC di Balik ‘Perang’ OJK Melawan Praktik Ilegal Jasa Keuangan

Selasa 27-05-2025,08:26 WIB
Reporter : Rivansky Pangau
Editor : Rury Pramesti

“Kalau kita sediakan dana pengganti, nanti malah bisa jadi modus baru. Orang pura-pura jadi korban biar dapat kompensasi dari bank,” terang Rudy yang juga menjabat Wakil Ketua Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI)

Ia menyebut bahwa negara-negara lain juga tidak menerapkan mekanisme penggantian untuk kasus penipuan finansial. Pasalnya, hal itu justru bisa menciptakan moral hazard dan membebani industri keuangan secara tidak adil.

BACA JUGA:Bank Indonesia Sebut Daya Beli Konsumen di Bali tetap Tumbuh dan Berjalan Stabil

 

Bermula dari WhatsApp, Medsos hingga Iklan Google

Seiring maraknya kejahatan di ruang digital, IASC tak bisa hanya bertumpu pada dunia perbankan. Banyak kasus bermula dari aplikasi seperti WhatsApp, Instagram, atau iklan di mesin pencari Google.

Karena itu, IASC menjalin kemitraan strategis dengan Meta (induk WhatsApp, Facebook, dan Instagram) serta Google. Dalam waktu dekat, Meta akan mencantumkan logo IASC dalam platform-nya sebagai bentuk dukungan terhadap upaya penanggulangan penipuan.

“Meta dan Google sudah memahami pentingnya peran mereka. Kalau platform mereka digunakan untuk menipu, citra mereka ikut rusak,” kata Rudy di sela-sela kegiatan OJK Journalist Class, Senin (26/5/2025).

Namun, kerja sama ini tak mudah. Prosesnya panjang dan perlu pendekatan antarnegara. Meta, misalnya, dikoordinasikan dari kantor regional mereka di Singapura, sebelum keputusan global bisa dijalankan.

Penindakan hukum atas pelaku masih menjadi tantangan tersendiri. Karena ranahnya berada di luar kewenangan OJK, IASC harus berkoordinasi erat dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), serta aparat penegak hukum.

“Kalau soal penutupan akun, pemblokiran situs, atau jerat hukum lewat UU ITE, itu di bawah Kominfo. Jadi, kami saling sinergi,” jelas Rudy.

IASC mungkin dilengkapi teknologi, data, dan jaringan institusi besar. Tapi di balik semua itu, mereka menghadapi kenyataan yang sangat manusiawi: ketakutan korban, penyesalan yang terlambat, dan kerugian yang tak selalu bisa diganti.

“Kadang kami dengar sendiri orang tua menangis karena tabungan pensiunnya habis. Di situlah kami sadar: pekerjaan kami bukan hanya soal data. Ini soal nyawa, masa depan, dan kepercayaan masyarakat,” ujar Rudy.

Perang melawan keuangan ilegal bukan hanya tentang memblokir rekening atau memburu pelaku. Ini tentang mengembalikan rasa aman publik dalam bertransaksi digital. Dan dalam perang ini, IASC hadir bukan sebagai pahlawan tunggal, tapi sebagai bagian dari pasukan yang lebih besar: masyarakat yang sadar dan waspada.

Kesimpulannya, kalau masyarakat cepat lapor, dan sudah punya kesadaran sejak awal, peluang mencegah kerugian jadi jauh lebih besar.

Kategori :