DENPASAR, DISWAYBALI.ID - Direktur Konservasi Ekosistem dan Biota Perairan, Firdaus Agung Kunto Kurniawan, memberi peringatan serius mengenai praktik korupsi di sektor tambang, terutama yanag kini sedang viral yakni di Raja Ampat.
Firdaus mengungkapkan bahwa saat ini KKP sedang melakukan identifikasi dan pemetaan terhadap titik-titik tambang, izin KKPRL (Keserasian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut), hingga titik-titik pencemaran akibat sedimen dan tailing. Namun ia mengakui, proses ini tidak sederhana.
"Kita sedang mendata. Tapi harus jujur, tidak semua pencemaran langsung terdeteksi karena sifatnya dinamis, sedimen bisa terbawa arus ke mana-mana. Itu sebabnya butuh kajian lebih dalam,” jelasnya saat diskusi dengan wartawan, dikutip Kamis 19 Juni 2025.
BACA JUGA:Kementerian Kelautan dan Perikanan Bantah Terbitkan IUP Nikel di Raja Ampat: Itu Bukan Wewenang Kami
Lebih lanjut, Firdaus menjelaskan bahwa nilai ekonomi pariwisata di Raja Ampat bisa mencapai Rp20 triliun per tahun. Namun, Firdaus mengingatkan agar isu tambang di Raja Ampat berakahir seperti kasus korupsi Timah Rp371 triliun yang menyeret nama Harvey Moeis.
“Total nilai ekonomi Raja Ampat mencapai lebih dari Rp20 triliun per tahun. Pertanyaannya, apakah itu sebanding dengan nilai tambang nikel yang masuk? Jangan sampai kerugian Rp386 triliun seperti kasus timah terulang lagi karena salah kalkulasi,” tegasnya.
BACA JUGA:Kementerian Kelautan dan Perikanan Jamin Ikan dan Terumbu Karang Aman dari Tambang Nikel Raja Ampat
Firdaus menegaskan bahwa KKP tidak menolak keberadaan tambang sebagai sumber daya, namun menekankan perlunya diskusi publik yang sehat, transparan, dan berbasis data ilmiah.
“Kita tidak mengkontraskan tambang versus konservasi. Tapi pengambilan keputusan harus mempertimbangkan cara meminimalkan dampak dan memaksimalkan manfaat secara adil,” katanya.