Pak Man—sapaan akrabnya, kemudian menjelaskan asal muasal terbentuknya komunitas Tepi Barat.
“Pameran kita hari ini adalah pameran yang ada unsur drawing-nya, karena kita di komunitas Tepi Barat adalah komunitas yang berbasis drawing. Jadi komunitas kita ini adalah komunitas yang selalu mengadakan kegiatan live drawing,” tuturnya.
Ia menyebut bahwa komunitas ini telah ada sejak tahun 2011, meski belum memiliki nama resmi saat itu. Nama Tepi Barat baru mulai digunakan pada tahun 2014.
BACA JUGA:Nuanu Run Kembali Digelar Pada 1 Juni 2025, Padukan Lari, Seni dan Alam di Bali
“Jadi selama kurang lebih 4 tahun baru kita mengumumkan nama kita (Tepi Barat, red), karena waktu itu ada kebutuhan setiap kita ketemu orang jadi mereka susah menyebut kita," kisahnya.
"Jadi pada waktu itu karena seringnya orang bertanya, jadi kita memutuskan nama Tepi Barat," lanjutnya.
Nama itu, kata Pak Man, diambil dari letak geografis studio Wijaya yang berada di Desa Nyambu, Kecamatan Marga, Tabanan.
"Dalam lingkar seni rupa menurut saya Tabanan itu adalah lingkar paling luar dari lingkar paling barat sebenarnya. Saya mengambil nama Tepi Barat karena kita berada jauh dari pusat lingkar seni rupa,” jelasnya.
Menurut Pak Man, kolaborasi dengan Labyrinth Art Gallery membuktikan bahwa lingkar seni rupa wilayah barat Bali kini mulai mendapat perhatian.
“Jadi saya harap tepi barat ataupun sisi barat lingkar seni rupa adalah masa depan seni rupa Bali,” tutupnya.
Di samping itu, Kurator Pameran ‘Menanam Garis’, Yusi Pramandari, turut memberikan refleksi personal dalam pembukaan pameran. Dalam catatannya, Yusi menyoroti pertentangan antara pendekatan ekonomi dan artistik dalam memahami kesejahteraan.
"Konon, pertumbuhan berkelanjutan akan menciptakan kesejahteraan dari kacamata seorang ekonomi. Itu saya,” ujarnya.
Namun, ia menegaskan, sudut pandang seniman membawa pemaknaan berbeda. “Dalam dunia yang bergerak cepat dan seringkali muncul kegelisahan, kesejahteraan muncul sebagai kata yang akrab namun kompleks. Ia berujuk pada kondisi ideal secara fisik, mental, dan sosial,” tuturnya.
Menurut Yusi, para seniman Tepi Barat berupaya menyampaikan kesejahteraan sebagai proses berkesinambungan yang ditampilkan dalam bahasa visual.
“Garis adalah jejak paling jujur dari kehadiran manusia. Ia tidak bisa berbohong tentang getaran tangan yang meragukan, nafas yang tertahan, atau perpisahan yang bersarang di dalamnya,” katanya lagi.
“Yang terjadi bukanlah sedang menggambar, melainkan semacam percakapan intim dengan dirinya sendiri, dimana setiap tarikan garis menjadi mantra visual yang menenangkan,” tambahnya.