Krisis Kemanusiaan di Sudan, Tragedi El Fasher dan Derita yang Tidak Berujung di Darfur

Krisis Kemanusiaan di Sudan, Tragedi El Fasher dan Derita yang Tidak Berujung di Darfur

Krisis di Sudan kini sudah mencapai titik paling kelam setelah pasukan (RSF) berhasil menguasai kota El Fasher di wilayah Darfur--X (Twitter)

DENPASAR, DISWAYBALI.ID - Krisis di Sudan kini sudah mencapai titik paling kelam setelah pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) berhasil menguasai kota El Fasher di wilayah Darfur.

Dalam genosida yang telah berlangsung selama lebih dari setahun, ribuan warga Sudan menjadi korban kekerasan, kelaparan, dan pengungsian besar-besaran yang mengguncang hati dunia.

Tragedi ini menjadikan Sudan sebagai salah satu krisis kemanusiaan terbesar yang tengah terjadi saat ini. Dari berbagai laporan organisasi hak asasi manusia, mengungkapkan terjadinya pembunuhan massal dan kehancuran fasilitas-fasilitas kesehatan di Sudan.

BACA JUGA:Majelis Umum PBB Sahkan Resolusi Palestina Merdeka, 142 Negara Setuju

Konflik di Sudan saat ini menjadi sorotan dunia setelah pasukan Rapid Support Forces (RSF) berhasil merebut salah satu kota di Sudan, yaitu El Fasher pada akhir Oktober 2025. Kejadian ini menandai salah satu peristiwa paling berdarah dalam sejarah modern Sudan.

Sebelum kota itu jatuh, El Fasher telah dikepung selama lebih dari 18 bulan oleh RSF dan memutus akses makanan, air, dan obat-obatan untuk warga Sudan. Organisasi seperti Human Rights Watch menyebut bahwa tindakan itu sudah termasuk ke dalam kejahatan perang karena dilakukan secara sistematis untuk melemahkan populasi di Sudan.

Setelah melakukan penguasaan penuh di Sudan, laporan menunjukkan pemandangan memilukan yang terjadi di Sudan. Banyak rumah sakit di Sudan Barat yang menjadi sasaran penyerangan dan dilaporkan telah lebih dari 460 orang sudah tewas akibat serangan langsung, warga sipil dan termasuk anak-anak menjadi korban tanpa pandang bulu.

Krisis kemanusiaan di Sudan sudah berada di level yang mengkhawatirkan. PBB memperingatkan bahwa sudah lebih dari 10 juta orang di seluruh negeri membutuhkan bantuan. Namun sampai sekarang akses untuk mengirimkan bantuan masih diblokade dan sangat sulit untuk ditembus. Diketahui banyak warga Sudan yang memilih melarikan diri ke wilayah lain di Sudan Tengah dengan berjalan kaki tanpa adanya bekal makan dan minum.

Situasi yang ada di Sudan menunjukkan betapa kompleksnya perang yang melibatkan dua kekuatan besar militer yang dulunya bersekutu tetapi kini saling berperang untuk memperebutkan kekuasaan.

BACA JUGA:Erupsi Gunung Semeru di Pagi Ini, PVMBG Imbau Warga untuk Tetap Waspada

Dalam perebutan ini, warga sipil menjadi korban yang paling menderita. Banyak pihak yang menilai bahwa apa yang terjadi di Sudan bukan lagi sebuah perang melainkan seperti genosida etnis yang menargetkan warga sipil.

Masyarakat internasional kini mendesak untuk bertindak tegas kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab atas genosida yang terjadi di Sudan. Seruan datang dari banyak negara-negara Arab dan komunitas kemanusiaan dunia agar PBB menjatuhkan sanksi dan memastikan akses bantuan untuk para korban.

Jika masih tidak ada intervensi yang seharusnya dilakukan dengan sesegera mungkin, maka penderitaan warga Sudan akan terus berlanjut atau justru akan semakin meningkat dan dapat meninggalkan luka sejarah yang dalam bagi negara mereka.

Sumber: