Kemenbud Resmi Luncurkan Buku Taksu Keris Bali

Kemenbud Resmi Luncurkan Buku Taksu Keris Bali

Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon saat penyerahan buku Taksu Keris Bali kepada para seniman Bali, di Neka Art Museum, Ubud, Gianyar, Senin (1/9/2025)-Rivansky Pangau-

UBUD, BALI.DISWAY.ID - Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia resmi meluncurkan buku Taksu Keris Bali dalam rangkaian Pameran Seni Rupa Keris di Neka Art Museum, Ubud, Gianyar, Senin (1/9/2025). Peluncuran buku ini menjadi bagian dari upaya pemerintah mendorong pelestarian keris sebagai warisan budaya tak benda yang telah diakui UNESCO sejak 2005.

Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, menyatakan bahwa keris merupakan ekspresi seni yang kompleks, memadukan seni tempah, ukir, pahat, hingga filosofi yang terkandung di dalamnya.

“Keris ini adalah warisan budaya yang diakui dunia. Peluncuran buku Taksu Keris Bali menjadi salah satu cara untuk menjaga, mendokumentasikan, dan menghidupkan kembali warisan luhur yang dimiliki bangsa,” ujar Fadli Zon.

Dalam sambutannya, Fadli mengapresiasi kontribusi para budayawan, termasuk Pande Wayan Suteja Neka dan keluarga besar Neka Art Museum, yang konsisten menjaga keberlangsungan Keris Bali melalui penelitian, Pameran, hingga publikasi.

Ia juga mengingatkan bahwa keris memiliki nilai diplomasi budaya yang kuat. Menurutnya, Presiden RI Prabowo Subianto kerap memberikan Keris Bali sebagai cendera mata kepada para pemimpin dunia.

“Ini simbol bahwa Keris Bali bukan hanya milik masyarakat Bali, tetapi juga representasi budaya Indonesia di mata dunia,” tegasnya.

Selain peluncuran buku, acara di Neka Art Museum juga dirangkaikan dengan uji kompetensi bidang perkerisan oleh LSP Perkerisan, diikuti para pelaku budaya keris di Bali. Langkah ini, kata Fadli, menjadi bagian penting dalam mendorong standarisasi profesi melalui Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI).

Fadli menambahkan, Kementerian Kebudayaan terus berupaya mengembalikan artefak budaya dari luar negeri, termasuk sejumlah keris bersejarah dari Belanda yang kini telah menjadi koleksi Museum Nasional.

“Kita berharap satu saat nanti bisa dibuka Pameran khusus tentang keris-keris bersejarah dari Bali yang telah berhasil dikembalikan,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Fadli menekankan pentingnya Museum sebagai pusat literasi, edukasi, dan diplomasi budaya. Dengan 470 Museum yang ada di Indonesia saat ini, ia berharap jumlah tersebut dapat terus bertambah seiring dengan kebutuhan pelestarian dan promosi budaya bangsa.

budaya adalah kekuatan lunak, soft power, yang mampu menyatukan bangsa kita di tengah peradaban dunia. Keris Bali adalah salah satu manifestasi terkuat dari kekuatan budaya tersebut,” tandas Fadli Zon.

Selain peluncuran buku, sebelumnya juga digelar sarasehan masyarakat adat dalam acara Harmoni Pemajuan Kebudayaan, Pameran Seni Rupa Keris 'Vibrant Colors'. Acara ini menjadi ruang perjumpaan budaya yang menyatukan warisan leluhur dengan semangat zaman kini dengan menghadirkan sejumlah tokoh budaya, masyarat adat, serta komunitas kebudayaan Bali.

Direktur Jenderal Perlindungan Kebudayaan dan Tradisi (Dirjen PKT), Restu Gunawan diwakili Staf Ahli Menteri Kebudayaan Bidang Sejarah dan Pelindungan Warisan budaya, Basuki Teguh Yuwana, mengatakan bahwa Harmoni atau keselarasan keseimbangan antara tradisi dan inovasi dalam budaya sangat dibutuhkan. Ia juga menjelaskan bahwa kemajuan saat ini tidak harus dicapai dengan meninggalkan akar melainkan dengan memadukan nilai-nilai Luhur dari masa lalu dengan semangat proaktif dan kreatif dari masa kini.

“Kementerian Kebudayaan mengajak semua pihak berkolaborasi untuk menciptakan harmoni antara warisan dan modernitas menjadikan Kebudayaan sebagai kekuatan yang terus berkembang dan relevan,” ujar Basuki dalam sambutannya saat membuka Sarasehan Masyarakat Adat.

Adapun narasumber pada sarasehan ini diantaranya Sjamsul Hadi, Direktur Bina Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa & Masyarakat Adat Kemenbud; I Komang Warsa, Bendesa Adat Alasngandang; I Ketut Eriadi Ariana, Pemuda Adat Gunung Batur; Dewi Girindrawardani, Perempuan Adat, Puri Agung Karangasem, dan dipandu oleh Prof I Nyoman Budiana, Guru Besar Fakultas Hukum Undiknas selaku moderator.

Sjamsul Hadi dalam arahan awalnya menyampaikan, kehadiran Kemenbud bertujuan mendengar secara langsung kebutuhan masyarakat adat, termasuk dalam pemenuhan hak-hak masyarakat adat di ruang hidup, ruang ekspresi, pelestarian, hingga perlindungan terhadap tradisi.

“Program ini hadir untuk memastikan masyarakat adat tetap memiliki ruang, baik dalam pewarisan tradisi maupun penguatan identitas. Kami juga mendorong regulasi, salah satunya rancangan peraturan presiden yang mengatur perlindungan tempat sakral dan sekolah adat agar proses pewarisan berjalan berkesinambungan,” ujar Sjamsul Hadi.

Ia menambahkan, pihaknya memiliki program strategis yang melibatkan pemuda adat, perempuan adat, serta fasilitasi lembaga adat. Program ini diarahkan untuk memperkuat pengembangan dan kemanfaatan wilayah adat, termasuk di Bali yang memiliki karakteristik adat beragam dengan tantangan masing-masing.

“Melalui sarasehan ini, kami ingin hadir untuk masyarakat adat Bali, sekaligus melakukan langkah serupa di wilayah adat lainnya. Rekomendasi yang muncul akan kami bawa untuk menjadi bahan pembahasan lebih lanjut di tingkat kementerian,” jelasnya.

Sementara itu, I Komang Warsa, menegaskan bahwa adat di Bali memiliki posisi yang sakral karena menyatu dengan agama dan budaya masyarakat. Ia mengibaratkan adat, budaya, agama, dan kearifan lokal sebagai empat pilar penyangga Bali.

“Kalau salah satunya roboh, maka bangunan Bali akan goyah. Tradisi adat masih kuat di Bali karena menyatu dengan agama Hindu. Tidak bisa dipisahkan antara adat, budaya, dan keyakinan,” ujar I Komang Warsa.

Dalam sarasehan tersebut, ia juga mengingatkan pentingnya memperkenalkan adat sejak dini melalui dunia pendidikan. Menurutnya, pengenalan adat tidak bisa dilakukan setelah seseorang dewasa, melainkan harus dikenalkan di bangku sekolah agar generasi muda memahami tradisi setempat sejak awal.

“Kita harus berkolaborasi dengan dunia pendidikan. Kalau memperkenalkan adat setelah dewasa, itu sudah terlambat. Tradisi harus dikenalkan sejak sekolah,” tegasnya.

Pada akhir sesi, dilakukan pembacaan perumusan sarasehan oleh Direktur Bina Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa & Masyarakat Adat Kemenbud, Sjamsul Hadi. Juga penyerahan perumusan sarasehan kepada Menteri Kebudayaan oleh perwakilan masyarakat adat.(*)

Sumber: