FAO Tetapkan Sistem Agroforestri Salak Bali sebagai GIAHS Pertama di Indonesia
Sistem agroforestri salak Bali menerima pengakuan internasional--ANTARA
DENPASAR, DISWAYBALI.ID - Sistem agroforestri salak Bali kini menerima pengakuan internasional setelah FAO mencatat bahwa pengelolaan kebun salak di Karangasem dianggap telah memenuhi kriteria warisan pertanian dunia yang berkelanjutan.
Dalam langkah bersejarah bagi pertanian Indonesia, sistem agroforestri salak Bali di Karangasem resmi ditetapkan sebagai bagian dari Globally Important Agricultural Heritage Systems oleh FAO menandakan bahwa kearifan lokal dan agroforestri salak tidak hanya relevan secara nasional, tetapi juga global.
Pengakuan dari FAO atas sistem agroforestri salak Bali ini membuktikan bahwa kearifan lokal masyarakat adat Karangasem bukan sekedar peninggalan masa lalu, melainkan sebuah solusi nyata bagi masa depan pertanian yang ramah iklim dan menjaga keanekaragaman hayati.
BACA JUGA:Penembakan di Pulau Kreta Tewaskan Dua Orang, Diduga Dipicu Dendam Keluarga
Dalam sebuah tonggak penting bagi pertanian Indonesia, sistem agroforestri buah salak Bali di wilayah Karangasem telah memperoleh pengakuan global dari Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) sebagai bagian dari program Globally Important Agricultural Heritage Systems (GIAHS).
Karangasem sebagai salah satu daerah penghasil utama salak Bali, telah mengembangkan sistem agroforestri yang mengintegrasikan budidaya buah salak dengan pohon naungan serta tanaman lain dalam satu lanskap yang memanfaatkan kearifan lokal masyarakat adat dan sistem pengelolaan lahan yang lestari.
Pengakuan resmi tersebut diumumkan pada 1 November 2025 di Roma, Italia. Seritifikat itu diperuntukan untuk sistem agroforestri salak di Karangasem, Bali yang kini terdata sebagai satu dari 28 sistem warisan pertanian baru di 14 negara.
Lalu dengan adanya pengakuan dari FAO terhadap sistem agroforestri salak Bali yang menunjukkan bahwa budidaya salak di Karangasem tidak sekedar soal produksi buah, tetapi juga memuat nilai ekologis dan nilai budaya yang mendalam.
Di Desa Adat Sibetan, misalnya sekitar 2.800 petani menjaga lebih dari 12 varietas lokal salak dan aturan adat untuk melindungi lahan pertanian dari alih fungsi atau penjualan ke pihak luar yang menjamin keberlanjutan sistem secara turun-menurun.
BACA JUGA:Hujan Deras, Pria Jakarta Hanyut di Ubud dan Ditemukan Tewas 3,7 Km dari Lokasi Kejadian
Pada tahun 2024 produksi salak di Karangasem tercatat mencapai sekitar 24.972 ton hal itu menunjukkan bahwa skala komersial dan nilai ekonomi dari sistem ini juga cukup signifikan.
Pengakuan dari FAO ini bukan hanya sekedar pencapaian secara simbolik saja, tetapi bisa dikatakan sebagai pembuka peluang kolaborasi internasional, pengembangan agrowisata, produk turunan salak, riset pertanian, dan investasi dalam praktik pertanian yang berkelanjutan.
Sumber: