Membaca Ulang Puputan, Membangun Ulang Ingatan

Senin 17-11-2025,13:11 WIB
Reporter : Rivansky Pangau
Editor : Candra Pratama

DENPASAR, DISWAYBALI.ID -- Seniman ternama di Bali, Marmar Herayukti menempatkan dirinya bukan sekadar sebagai seniman, melainkan penafsir ulang ingatan kolektif. 

“Diorama Puputan Badung” yang ia bangun di bawah Patung Pahlawan, bukan proyek monumental biasa.

Pembuatan diorama yang mendapat dukungan penuh Wali Kota Denpasar I G N Jaya Negara ini, adalah upaya meretas cara publik melihat monumen yang selama puluhan tahun berdiri sebagai tanda, namun jarang dimaknai ulang.

BACA JUGA:Dari Seniman Coffee hingga WYAH Art, 7 Spot Ngopi Instagramable di Ubud

Monumen itu sendiri memiliki sejarah panjang. Patung pahlawan rancangan tiga insinyur muda pada 1978, yakni Ir I Made Gede Sudharsana, almarhum Ir Ibnu Sudiro, dan Ir Widnyana Sudibya, diwujudkan oleh maestro patung Indonesia, Edhi Sunarso. 

Karya Sunarso lain yang dikenal luas, Patung Dirgantara di Jakarta, kini hadir dengan orientasi baru: menghadap ke Utara. Perubahan yang menurut Marmar bukan persoalan estetika belaka.

“Sebuah monumen akan hidup ketika berinteraksi dan mudah diakses publik. Sejarah kota ini harus menggema lebih jauh dan menyentuh lebih dalam,” ujarnya ketika ditemui Disway Bali, belum lama ini.

BACA JUGA:Lestarikan Budaya, KNPI Bangli dan Pemkab Dorong Regenerasi Seniman Muda Lewat Lomba Baleganjur

Diorama yang ia bangun mencoba melakukan hal itu, membuat sejarah ikut berjalan bersama masyarakat masa kini. 

Panel-panel logam yang ditempa dengan ketelitian ekstrem menghadirkan kembali drama Puputan Badung 1906, lengkap dengan tragedi, keberanian, dan martabat para tokohnya.

Marmar menyebut proyek ini sebagai komitmen untuk berbicara jujur, atas apa yang dicatat oleh tulisan dan artefak. 

BACA JUGA:FOTO Bali Festival 2025 Dibuka di Nuanu Creative City, Hadirkan 34 Seniman dari 10 Negara

Ia ingin menghadirkan celah yang hilang dalam narasi sejarah, ke dalam bentuk tiga dimensi yang bisa diraba, baik secara harfiah maupun emosional. Baginya, sejarah harus dibuat dapat disentuh generasi muda.

Tidak hanya itu, Marmar menjadikan monumen ini sebagai ruang yang inklusif. Monumen kini dilengkapi ramp dan guiding block bagi penyandang disabilitas.

“Orang yang tak dapat berjalan pun punya hak menentukan ‘langkah’, dan yang tak melihat tetap memiliki ‘pandangan’. Yang melumpuhkan bukanlah kekurangan fisik, melainkan kelumpuhan semangat,” tukasnya.

Kategori :